COINSMONEDES — Seoul – Seorang wisatawan asal Thailand menjadi korban pelecehan seksual verbal oleh seorang sopir taksi di Seoul, Korea Selatan, dalam insiden yang memicu kemarahan publik di dua negara.
Peristiwa ini membuka kembali perdebatan besar tentang kekosongan hukum yang belum mengatur pelecehan verbal sebagai tindak pidana di Korea Selatan.
Mengutip SCMP, Jumat (4/7/2025), dalam video yang diunggah pada 19 Juni dan telah disukai lebih dari 660.000 kali, korban merekam percakapannya dengan sopir taksi yang menggunakan aplikasi terjemahan. Sang sopir melontarkan sejumlah pertanyaan pribadi seperti,
Apakah kamu punya pacar?” dan “Kenapa kamu belum menikah?”, sebelum kemudian menyampaikan kalimat tak senonoh, “Kalau tidak punya uang untuk ongkos, kamu bisa bayar dengan tubuhmu.”
Wisatawan tersebut naik taksi dengan tujuan ke Stasiun Seoul untuk naik kereta ke Busan.
Namun, sopir itu malah menawarkan untuk mengantarnya langsung ke Busan dan berhenti di tengah perjalanan untuk berbicara lebih lanjut—suatu momen yang ia gambarkan sebagai menakutkan dan mengancam.
Meski akhirnya ia berhasil sampai ke tujuan, trauma yang dialami membuatnya mengunggah video sebagai peringatan kepada wisatawan lain, serta melaporkan sopir itu melalui aplikasi taksi.
Tak Ada Aturan Hukum
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/3234963/original/067792500_1599801728-chatnarin-pramnapan-dOyupDTOCpU-unsplash.jpg)
Reaksi netizen Thailand dan Korea Selatan menunjukkan solidaritas yang luar biasa terhadap korban. Banyak warga Korea yang meminta maaf secara terbuka, sementara yang lain mendesak agar sopir itu dikenakan sanksi hukum atau informasinya dipublikasikan secara terbuka.
Namun, kasus ini menghadapi tembok besar: tidak adanya aturan hukum yang mengkriminalkan pelecehan verbal di Korea Selatan.
Saat ini, hukum pidana negara itu hanya menghukum tindakan pelecehan fisik di ruang publik, sementara kata-kata yang merendahkan martabat atau bernada seksual tidak masuk kategori pelanggaran hukum.
Hal ini membuat para aktivis dan pengamat hak asasi manusia mendesak pemerintah Korea untuk memperluas cakupan hukum perlindungan terhadap kekerasan berbasis gender.